Sejak usia 17 tahun saya sudah mulai mencoba merokok walaupun belum bisa menikmatinya. Waktu itu merokok hanyalah partisipasi dengan teman-teman yang perokok. Partisipasi ini mulai meningkat ketika menduduki bangku kuliah, karena jumlah teman yang merokok juga lebih banyak. Dan pada akhirnya saya pun mulai bisa menikmati kepulan asap yang dihirup ke dalam paru-paru yang malang ini.
Krisis moneter tahun 1997 mulai berpengaruh terhadap kesehatan kantong yang tentu saja berakibat buruk pada alokasi dana RAPBP (rencana anggaran perokok berat). Beberapa teman termasuk saya, mulai berencana untuk meninggalkan kebiasaan buruk itu, dengan penuh perjuangan tentunya. Namun sayang, lebih banyak yang kandas di tengah jalan dan berakhir di bungkusan “Gold Flake”, rokok getir tapi murah. Berbagai cara sudah ditempuh, tapi sel-sel otak sudah terbiasa dengan kadar racun tertentu yang diracik oleh tangan-tangan terampil dan berpengalaman sehingga memiliki kekuatan candu yang cukup besar sehingga hasilnya, mental tak sanggup menahan rasa tersiksa untuk tidak merokok. Jangankan mencium aromanya, melihat orang yang menghisapnya pun sudah bikin mulut terasa asam.
Berbagai cara klasik sampai teknik terkini berhenti merokok pun di coba. Sebut saja misalnya bang Sahlan. Untuk menghilangkan kebiasaan buruk merokok maka dia pun menggantinya dengan kebiasaan buruk yang lain, makan permen. Setelah lebih kurang 2 bulan bang Sahlan pun kembali ke “Gold Flake” dengan alasan biaya beli permen tak kalah besar dengan rokok, disamping juga bisa mengakibatkan penyakit diabetes dan sakit gigi. Saya tak kalah dengan Sahlan, sudah lebih 3 bulan saya tidak beli rokok. Sayangnya, terlalu banyak orang yang baik hati memberikan rokoknya, dengan sukarela maupun sedikit terpaksa, sehingga akhirnya walupun tidak beli tapi saya tetap merokok.
Selama di New Delhi ada 2 mata air rokok yang tak putus-putus dan selalu mengalir ke mulut saya.
Bang Pur, usianya lebih senior dari saya, penerima beasiswa sehingga krismon tidak begitu mempengaruhinya. Mungkin karena dia menganggap saya adik yang pantas disayangi, maka dia pun ikhlas berbagi “sungai nikotin”. Sumber yang satu lagi
Cak Fathi. Tampangnya junior, tapi jangan salah, itu cuma casingnya, isinya jauh lebih tua dari saya. Teman yang satu ini mungkin punya pohon “Gold Flake” yang rajin berbuah di lemarinya, tidak ada pacekliknya walaupun tidak diberi pupuk. Hampir setiap bungkus yang dia buka saya pasti nimbrung. Disamping 2 sumber besar ini tentunya ada juga sumber-sumber lainnya. Seperti Bang Yusuf yang kadang-kadang singgah bertandang sepulang kerja dari KBRI. Bang Jusman yang tiba-tiba datang untuk berbagi ide. Bang Rozi yang kadang-kadang curhat tentang tambatan hatinya yang entah di mana wujudnya. Bang Ramlan, yang ATMnya gak pernah kosong. Bang Manu yang kadang-kadang datang berlibur dari Aligarh. Masih banyak lagi sumber-sumber lain yang tak tersebutkan.
Tahun 2004 saya bertemu lagi dengan Bang Pur yang belum berubah, tetap dia membelikan saya sebungkus “234” walaupun ternyata beliau sendiri sudah tidak lagi mengkonsumsi tembakau yang diracik dengan tar dan cengkeh pilihan dan diyakini sebagai obat batuk itu. Harum aromanya pun tak menggodanya. Yang mengejutkan, bukan hanya bang Pur, tapi chainsmoker di lingkungan bang Pur yang pernah saya kenal lainnya juga sudah gantung pipa. Ini membuat dunia terasa sepi, dan “234” pemberian bang Pur pun jadi terasa hambar.
Ketika saya mulai mengajar di IAIN-SU sebagai dosen honor, saya sering berkunjung ke kantor Bang Harun, juga senior saya, dan termasuk kalangan yang biasa berbagi nikotin dengan saya semasa kuliah. Anda mungkin bingung dengan istilah dosen honor. Tak perlu terlalu merasa kurang informasi, saya sendiri pun masih bingung dengan maksud istilah itu. Kalau anda mengira dosen honor adalah dosen yang diberi honor tinggi, anda salah. Tapi kalau anda mengatakan dosen honor adalah dosen kehormatan, lebih salah lagi. Bang Harun, juga seperti yang lainnya sedang berusaha mengurangi frekwensi merokoknya.
Oh ya, ada juga teman yang tidak berhenti menghisap tembakau, tapi sedang mencoba mengurangi ancaman bahayanya dengan mengganti rokoknya dengan yang mild. Tapi sepanjang pengetahuan saya kepercayaan bahwa rokok mild lebih aman karena nikotin dan tarnya berkadar rendah adalah isapan jempol belaka. Rokok mild tak selembut yang diiklankan. Jumlah tar dan nikotin yang dihisap dari rokok mild ternyata 8 kali lebih tinggi dari yang diklankan. Belum lagi jumlah yang dihisap bisa jadi lebih banyak. Rokok biasa bisa habis sebungkus perhari, sedangkan rokok mild 2 bungkus belum “nendang”.
Awal tahun 2009 saya bertemu Pak Mujab, senior saya di Aligarh Muslim University. Pertemuan tak diduga ini terasa hangat karena memang sudah sangat lama tidak bertemu. Angin apa kiranya yang telah membawa senior yang sangat saya segani ini ke kota Medan. Ternyata kunjungannya ke Medan adalah atas undangan orang “numero uno” di Sumut. Tanpa menghiraukan rasa lelahnya (sorry Mas ya..) kami duduk sampai larut malam di lobby hotel Madani ditemani putra pemilik hotel yang kebetulan adalah muridnya, dan kebetulan juga adalah bos saya di Sekolah Internasional Darul Ilmi Murni. Pembicaraan menarik tentang dunia pendidikan itu rasanya akan lebih menarik lagi kalau diselingi dengan isapan asap tembakau dan cengkeh pilihan, maka saya pun mengeluarkan sebungkus “234”. Saya ingin mengembalikan kenangan musim dingin di Aligarh, ngobrol-ngobrol dengan Pak Mujab sambil menikmati “234”. Dengan malas pak Mujab mengambil sebatang sembari berkata, ”sebetulnya saya sudah tidak merokok, kecuali sekali-sekali”. Ini adalah sesuatu yang mengejutkan bagi saya mengingat beliau adalah salah seorang perokok berat yang saya kenal. Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah alasan beliau bahwa merokok selain buruk buat kesehatan juga menunjukkan
kebiasaan orang yanga tidak beradab.
Suatu hari saya mengunjungi
blog Cak Fathi yang memang sering saya kunjungi (kunjungan balasannya donk Cak!). Ketika itu tulisannya menceritakan bahwa dia sedang merayakan ulang tahun yang pertama. Saya sempat berpikir, teman yang satu ini terlalu PD (percaya diri). Beliau memang sering mengaku berumur 17 atau 23 tahun, karena memiliki baby face. Tapi untuk mengaku berumur 1 tahun kan kelewat muda. Setelah selesai membaca tulisannya barulah saya tahu bahwa cendikiawan Malang yang selalu beruntung ini sedang merayakan tahun pertama dia tidak merokok. Sepertinya dunia ini memang penuh dengan hal-hal yang mengejutkan. Walaupun mengejutkan saya tetap ucapkan selamat padanya.
Kedua orang yang pernah saya sebut sebagai “mata air” sudah menyatakan diri pensiun menghisap rokok, begitu juga teman-teman yang lain yang sudah insaf. Tinggal saya, the last hero, yang masih berkutat dengan rokok. Cerita ini menyisakan pertanyaan yang tak bisa saya jawab. Ketika saya dulu merokok karena mengikuti teman-teman, sekarang kenapa setelah teman-teman quits moking, saya tidak ikut-ikutan berhenti?. Apa saya akan mengikuti jejak seorang teman lain, yang baru berhenti merokok setelah kanker paru-paru mencabut nyawanya?.